‘Angkat Dulang’, Tradisi Tambelan Rayakan Maulid Nabi
Hari itu, jejak embun masih membekas di lereng kaca kusen jendela rumah Syafriadi, pagi sekali ketika waktu Subuh berakhir dengan salam “Assalamuaikum Warahmatullah”.
Sesekali tercium aroma adonan santan kelapa, telur, dan susu dalam loyang tembaga yang dipanggang di atas bara tempurung tungku belakang rumah panggung tersebut.
Kepulan asap pun mulai menjelma, menjelaskan bahwa adonan dalam loyang tembaga itu semakin semerbak di setiap dapur warga sepanjang lorong Kampung Melayu Tambelan.
Ketika Bintang Timur masih jelas terangnya di antara bias fajar, ketika itu pula loyang tembaga diangkat dari perapian, kemudian diletakkan di atas ampas kelapa bekas parutan untuk penyejukan.
Setelah itu, adonan yang dikenal dengan nama “Bingke Berendam” tersebut dipisahkan dari loyang. Dengan cara, menelungkupkan loyang ke pinggan (piring) dan mengangkat perlahan tembaga tersebut tanpa merusak motif loyang pada bingke atau bingka yang tertinggal.
Sambil menunggu “Pisang Gendang” (pisang goreng) jenis kepok atau “pisang bato” dalam Bahasa Tambelan rampung digoreng, Rubiah istri dari Syafriadi membat “Aik Sterup”.
“Aik” atau air, dan “Sterup” ini adalah nama lain dari sebutan minuman masyarakat tradisional Tambelan yang komposisinya terdiri dari susu kental manis dan “ncelup” atau pewarna minuman. Pada umumnya, “Aik sterup” berwarna merah.
Beranjak dari dapur, Rubiah mengangkut semua hidangan dan meletakannya secara terpisah ke dalam satu talam besar, (tampan, KBBI) atau disebut ‘Dulang’. Dengan komposisi lengkap untuk 4 orang, meliputi: bingke berendam, pisang goreng, ‘aik strup’, pencuci tangan, ‘pengesat mulut’ (lap mulut), sendok, dan 4 piring.
Tanah pun semakin terang, Syafriadi (46) yang kesehariannya bekerja sebagai honorer di Tata Usaha SMA Negeri 1 Tambelan itu siap berkemaskan diri dengan pakaian sopan dan rapi sambil mengangkat dulang menuju sumber suara Shalawat atas Nabi Muhammad SAW.
Zikir semakin terdengar jelas, bersahutan di dalam Surau Rahmanul Islamiah, Kampung Melayu. Tidak hanya Syafriadi, warga Kampung Melayu lainnya semakin ramai, beriringan mengangkat dulang menuju surau tempat berkumpulnya orang yang ber-zikir menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Tiba di surau yang tidak jauh dari rumah kediamannya, Syafriadi meletakan dulang di lokasi yang sebelumnya telah disiapkan panitia Surau Rahmanul Islamiah sebagai tuan rumah penyelenggaraan Maulid Nabi pada hari tersebut (28/11).
Rutinitas tak biasa yang dilakukan keluarga Syafriadi adalah contoh satu dari sekian banyak warga di Kecamatan Tambelan yang bersemangat menyambut Maulid Nabi 12 Rabi’ul Awal 1440 H (20/11).
Apa yang telah dilakukan Syafriadi di atas disebut sebagai “Dulang Pagi”. Ini adalah budaya yang diwarisi masyarakat Tambelan sedari dulu dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad setiap 12 Rabi’ul Awal.
Untuk dapat menikmati hidangan di dalam “Dulang Pagi”, para tamu undangan atau masyarakat sekitar harus menunggu usai proses zikir, berzanji, shalawat, dan doa bersama di dalam surau tersebut. Biasanya, proses tersebut berlangsung sekitar 3 jam lamanya, bahkan lebih.
“Setelah itu, barulah para tamu undangan dan masyarakat sekitar dapat membuka isi “Dulang Pagi’, dan menikmati bersama sebelum Zuhur menjelang,” ujar Syafriadi.
Usai mengerjakan shalat Zuhur bersama, masyarakat sekitar Surau Rahmanul Islamiah yang pada hari itu menjadi tuan rumah Maulid Nabi 2018, kembali menggelar zikir, berzanji, shalawat dan doa bersama. Diikuti dengan hantaran dulang atau “Angkat Dulang” pada sore hari, atau disebut sebagai “Dulang Petang”.
Pembeda “Dulang Pagi” dengan “Dulang Petang”, hanya pada masa penyajian dan menu makanan yang disajikan.
Jika Dulang Pagi dihantar pagi atau sekitar pukul 07.00WIB, Dulang Petang dihantar setelah shalat Zuhur ditegakkan.
Kemudian, jika Dulang Pagi berisikan bingke berendam atau berjenis kue, maka Dulang Petang berisi lauk pauk. Contoh, nasi, kari, gulai, pacri, buah dan lain sebagainya dalam satu dulang.
Masyarakat sekitar surau itu sendiri diberikan kebebasan untuk memilih, apakah ingin berpartisipasi ikhlas mengisi hantaran Dulang Pagi, Petang, atau keduanya sesuai kemampuan.
“Dulang Pagi atau pun Petang adalah salah satu bentuk jamuan dari masing-masing kampung sebagai tuan rumah kepada tamu undangan yang telah ber-zikir, ber-shalawat untuk Nabi Muhammad SAW,” katanya yang tradisi ini telah ada sejak dulu.
Jamuan makanan dan minuman pada perayaan Maulid Nabi dilakukan secara begiliran. Dalam hal ini, masing-masing kampung menjadi tuan rumah dalam penyelenggaraan Maulid Nabi pada hari yang telah disepakati oleh seluruh pengurus masjid dan surau di Kecamatan Tambelan.
Pada hari pertama, perayaan Maulid Nabi Muhammad dilakukan di Masjid Raya Tambelan yakni Baitul Rahmat yang terletak di Kampung Batu Lepuk.
Menguak sejarah singkat masjid di Tambelan, dulu Tambelan hanya memiliki 1 masjid yakni Baitul Rahmat. Masjid ini adalah masjid tunggal dari sekian surau di Tambelan, tepatnya sebelum Surau Jami’ Da’watul Islamiah di Kampung Kukup berubah menjadi masjid pada tahun 2000 ke atas.
Hal ini yang membuat perayaan Maulud dalam Bahasa Tambelan atau Maulid Nabi bertepatan pada 12 Rabiul Awal di Tambelan dimulai dari Masjid Baitul Rahmat sampai saat ini.
Setelah itu, barulah pada hari ke-2 perayaan Maulid Nabi dilanjutkan ke surau lain di masing-masing kampung dengan melibatkan warga sekitar surau menjadi tuan rumah atau penyelenggara.
Seperti, Kampung Melayu yang memiliki Surau Nurul Huda, dan Surau Rahmanul Islamiah. Kampung Hilir di Surau Baitul Ubudiah, dan Al Shaleh. Kampung Kukup di Surau Al Ikhlas, dan Masjid Jami’ Da’watul Islamiah. Serta di Teluk Sekuni yakni Surau Almustaqim, dan Alfalahuddin.
Di Pulau Tambelan sendiri memiliki 5 kampung. Yakni, Kampung Batu Lepuk, Melayu, Hilir, Kukup, dan Teluk Sekuni dengan total 9 surau / masjid.
Dihitung dari jumlah surau atau masjid seluruh kampung, maka perayaan Maulid Nabi di Tambelan dilakukan selama 9 hari berturut-turut kecuali hari Jumat.
Artinya, jika perayaan Maulid Nabi hari ke-8 dilakukan di Surau Rahmanul Islamiah, Kampung Melayu. Maka, warga Kampung Melayu sekitar surau tersebut yang menyiapkan hantaran dulang untuk menjamu tamu dan undangan dari kampung lain, sebagaimana yang dilakukan Syafriadi berserta istrinya di atas. Begitu juga sebaliknya untuk warga lain di masing-masing surau atau masjid.
Seandainya di dalam satu kampung memiliki dua surau, maka warga yang berada dalam satu kampung tersebut turut dibagi dua, dengan pengelompokkan berdasarkan jumlah Rukun Tetangga (RT) untuk menyelenggarakan perayaan Maulid Nabi di masing-masing surau atau masjid.
Betapa mulianya hari kelahiran Nabi Muhammad SAW bagi masyarakat Tambelan. Tidak hanya ber-zikir, ber-zanji dan ber-shalawat bersama, dulang yang dihantarkan dari setiap rumah warga juga dihidangkan secara gratis menjamu kalangan tamu undangan, alim ulama, anak yatim piatu, dan masyarakat.
Bukan hanya untuk warga Tambelan, tawaran jamuan makanan juga diberikan kepada para musafir lalu yang kebetulan melintas di surau atau masjid tempat berlangsungnya acara Maulid atas Nabi Allah, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allahumma shalli ‘ala sayyidinna Muhammad wa’ala ali sayyidinna Muhammad. (Saud)