Ketimpangan Korupsi dan Pajak
Oleh: Muhadam Labolo
Tak terhitung ratusan kritik terhadap gejala korupsi di semua sektor seperti menabrak tembok kokoh. Mereka yang cemas dan berupaya menghentikannya di anggap asing. Seakan di tengah kubangan korupsi mereka yang berteriak pertanda gila, munafik dan bodoh. Keresahan publik berubah menjadi kepasrahan, diam dan permisif. Korupsi bukan lagi perilaku kotor.
Disatu sisi pemerintah tiap hari berpikir menarik pajak. Anehnya bumi yang kaya seakan tak sanggup menyelesaikan hutang. Cara paling cepat hanya merogoh uang di saku rakyat. Sementara kekayaan alam raib ibarat air yang menguap. Andai eksploitasi kekayaan tak bocor, mungkin inilah satu-satunya negara yang minim pajak.
Negara-negara lain mungkin akan belajar soal bagaimana mengelola sumber daya alam yang melimpah. Ironisnya kita bukan ahli disitu, tapi justru belajar memungut pajak seperti negara-negara minus sumber daya alam. Singapura misalnya. Apa saja bisa di pajak demi menutupi kelangkaan sumber daya alam. Sumber daya manusia dan buatan menjadi tumpuan hidup.
Sepanjang 2024, sumber daya alam yang melimpah itu gagal menopang hidup 289 juta penduduk. Negara justru di sokong rame-rame oleh mayoritas penduduk miskin. Sebanyak 82,4% atau sekitar Rp. 2.309,9 triliun pajak bersumber dari sekitar 60% kaum papa. Sumber daya alam hanya berkontribusi 7,4% atau sekitar Rp. 207,7 triliun.
BUMN yang diisi anggota timses dan koalisi cuma menyumbang Rp.85,5 triliun. BLU hanya berkontribusi Rp. 83, 4% atau 3,0%. Sisanya, bukan pajak lainnya sebesar Rp. 115,1 triliun atau 4,1% (BPS, 2024). Angka itu meyakinkan kita bahwa sumber daya alam bukan tak maksimal dikelola, tapi tekor di tilep koruptor. Andai dapat dihentikan, rakyat tak perlu menanggung derita.
Ketidakseimbangan itu tak hanya menunjukkan kegagalan tata kelola, juga representasi partai yang selama ini mengusung keadilan, amanah, demokrasi, hati nurani, kebangkitan, persatuan, solidaritas, kekaryaan, bahkan gerakan keIndonesiaan. Andai semua identitas partai itu sungguh-sungguh diperjuangkan sebagai idiologi, kita tak akan menjumpai ketimpangan.
Sumber daya alam semestinya menjadi tumpuan. Malangnya, sumber daya alam itu digadai tak hanya sekarang, hingga anak cucu. Sebut saja timah, nikel, gas, emas, mineral, minyak, hingga pasir laut. Pelakunya hedon, dibekingi aparat dan keluarga penguasa. Fakta-fakta dipengadilan hingga investigasi jurnalis terkemuka Tempo cukup menjadi indikasi.
Kita butuh pemerintahan yang kuat untuk memburu perampok hasil bumi. Sedemikian banyak investasi tumbuh, pada saat yang sama angka kemiskinan ekstrem terus merangkak. Kaum elit bersekutu lewat jaringan kekuasaan mengontrol jaringan ekonomi dan sosial. Persengkokolan itu tampak dengan telanjang di pemilu.
Politik dikendalikan penuh partai politik. Bonekanya di tunjuk secara aklamatif. Dengan begitu seluruh sumber daya ekonomi di kontrol oligarki. Kekuasaan yang seharusnya netral memproduk aturan untuk memandu kebutuhan pemodal. Hasilnya aturan berat sebelah. Tumpul ke atas, tajam ke bawah. Sesekali alit diberi ruang untuk kelola tambang dengan pengetahuan pas-pasan.
Para pengendali modal memanfaatkan kepolosan penguasa untuk kepentingan dirinya. Hak-hak rakyat seperti tanah disita lewat cara paksa. Berlindung atas nama kepentingan strategis nasional. Negara yang seharusnya melindungi berubah menjadi tukang pukul kaum pemodal. Mereka yang seharusnya memproduk sumber daya ekonomi, kini menjadi penghisap rakyat.
Subkultur sosial kehilangan kepedulian, kesadaran, dan _collective action._ Kehabisan energi mengontrol di tengah sikap represif penguasa dan pemodal. Tokoh-tokoh _civil society_ kini bisa dihitung dengan jari. Wakil rakyat kehilangan keberanian melawan kontrol partainya. Sama halnya aparat penegak hukum yang _notabene_ bagian dari penguasa.
Mereka kehilangan independensi. Takut kehilangan jabatan seraya menikmati ampas sumber daya alam sebagai jongos. Jaringan korupsi menjadi semacam puncak dari perilaku maling paling terorganisir. Para pencuri kekayaan alam tak berhenti sampai disitu. Pajak di korting lewat teknik kolaborasi. Petugas pajak tegas pada rakyat kecil, namun melempem pada oligarki.
Jaringan korupsi merembes hingga pengadilan. Para hakim, jaksa dan polisi tak punya taji. Hakim bisa menghukum pencuri 300 triliun dengan waktu singkat dan beban administrasi 5000. Sementara pemelihara Landak dan penghina penguasa bisa kena hukum dan biaya perkara tinggi. Cara kerja hukum bergantung pesanan. Tuntutan bisa beragam bila jelas “lampiran” perkaranya.
Pilihan kini bergantung pada keberanian rezim terpilih. Ia tak hanya berani secara struktural menghukum, juga memiskinkan. Pada saat yang sama Ia harus merancang kurikulum etik sebagai upaya kultural guna menghasilkan generasi baru. Sambil menanti buah kebijakan itu, lebih utama pemerintah harus mampu menjadi yang pertama memperlihatkan sikap anti korupsi seraya menggunting jaringan yang kini menggurita di semua aspek. (*)
Penulis: Merupakan guru besar IPDN